SAPARAN, TRADISI KEBERSAMAAN YANG TAK LEKANG OLEH WAKTU DI SUMOGAWE


Tanggal 28 Oktober lalu saya bersama beberapa teman blogger diajak main oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang ke Desa Sumogawe, Salatiga. Kegiatan ini bukannya tanpa tujuan melainkan untuk mengenalkan kami akan tradisi unik yang ada di desa Sumogawe. Hari itu bertepatan dengan perayaan Merti Deso atau biasa disebut saparan yang merupakan agenda wajib setiap tahun dan jatuh di hari senin legi, kami disambut iringan kirab warga Sumogawe.



Perayaan Merti Deso atau Saparan ini sudah ada sejak nenek moyang pendiri desa Sumogawe sebagai bentuk rasa syukur warga kepada Tuhan atas limpahan rejeki selama setahun sebelumnya dan berharap limpahan rejeki akan terus berlanjut hingga setahun ke depan. Sebut saja sebagai Syukuran Hasil Bumi.

Oiya, ada sejarah dibalik nama Desa Sumogawe lho gaes.. ternyata nama Sumogawe berasal dari nama Sumokerti yang menikah dengan Nyai Gawe dan jadilah nama desa Sumogawe yang merupakan gabungan dari dua nama tersebut. Mereka adalah cikal bakal para penduduk yang menghuni desa tersebut.

Tema yang diangkat pada perayaan Merti Dusun atau Saparan kali ini adalah “Dengan Kirab Budaya Kita Perkokoh Tali Presaudaraan dan Keluarga”. Tradisi Saparan ini lebih meriah dari tradisi syawalan disaat lebaran lho, tutur Pak Yapto selaku Ketua Panitia kegiatan Merti Deso ini. Orang desa Sumogawe yang merantau pasti menyempatkan diri untuk pulang saat saparan, tapi belum tentu pulang saat lebaran.


Acara saparan kemarin memang ramai, kami diajak berkunjung ke rumah warga dan disetiap rumah yang didatangi mewajibkan kami untuk makan. Bayangkan kami yang waktu itu sudah makan siang harus makan lagi saat masuk ke rumah warga. Jadinya makan siang kami nggak cuma double tapi triple bahkan lebih. Kebayang kan gimana rasanya? Berasa kena jebakan batman gitu hahaha kalau nggak makan kita dikira tidak menghargai tapi kalau makan juga perut sudah sakit karena kenyang. Tapi so far seru sih... hampir sama dengan tradisi saat lebaran di kampung suami di Kebumen sana.


Oiya ada satu fakta menarik dari desa Sumogawe nih gaes bahwa ternyata Desa Sumogawe adalah salah satu suplier susu untuk Perusahaan susu di Bandung dan Jakarta, sebut saja Frisian Flag juga Indomilk. Bahkan ada merk susu lokal yang sudah terkenal, namanya Susu Murni Nasional yang merupakan produksi desa Sumogawe, varian rasanya banyak rasanya juga enak.

Berdasarkan data tahun 2018, Desa Sumogawe mempu menghasilkan 25.000 liter susu per hari. Hal ini dikarenakan rata-rata penduduk Sumogawe memiliki 6-7 ekor sapi perah tiap rumah dan 1 sapi mampu menghasilkan 30 liter susu diperah tiap pagi dan sore. Desa Sumogawe terdiri dari  1 Pokdarwis yang menaungi 14 dusun dan memiliki 4 KUD Besar penampung susu untuk membantu para penduduk mendistribusikan susu dengan harga yang layak. Jadi nggak salah kalau tagline dari desa Sumogawe adalah "Ken Nyusu" karena merupakan desa penghasil susu. Keren ya Desa Sumogawe...



Puas makan siang berkali-kali kami pun diajak main ke KUD Wahyu Agung salah satu Koperasi Warga yang terbesar. KUD Agung adalah suplier untuk Indomilk dan setiap hari harus mengirim 15 ribu liter susu untuk Indomilk. Wow, banyak banget ya gaes..di KUD Agung ini juga terdapat banyak sapi perah. Sempat ada kejadian lucu saat kami memasuki area peternakan sapi ada salah satu peserta yang jalan duluan dan tiba-tib alari karena dikejar soang (angsa). Kami tertawa lepas saking lucunya melihat peserta tersebut lari ketakutan dikejar dua soang yang kelihatan marah kerena teritorinya diganggu.

Lepas main dari KUD Wahyu Agung kami diajak mampir ke salah satu Dusun yang masih berada 1 pokdarwis dengan Desa Sumogawe yaitu Dusun Magersari. Dusun yang memiliki tarian khas "Prajurit". Tari Prajurit ini merupakan warisan dari para pengikut Pangeran Diponegoro lho katanya. Jadi menurut cerita turun temurun penduduk  sekitar di tahun 1825-1830 saat Pangeran Diponegoro ditangkap banyak pengikutnya yang mengasingkan diri

Ada 3 orang yang mengasingkan diri bersama di Sumogawe. Mereka adalah Kertonegoro, Tambaknegoro dan Sumonegoro. Mereka memberdayakan warga sekitar dengan melatih mereka prajuritan dan akhirnya menjadi tarian yang turun temurun diajarkan dan menjadi tarian khas dusun Magersari yang biasa ditampilkan saat acara-acara tertentu.


Balik lagi ke acara kunjungan kali ini, di dusun Magersari kami diajak untuk belajar membuat keju Mozarella yang meler kalau kena panas dan juga icip-icip salah satu roduk olahannya yang bernama Mozarella Stick Bread. Seru banget, kami diajari oleh Ibu Tri yang memang punya usaha pembuatan keju lokal.


Seneng deh semakin banyak produk lokal berkualitas dan semoga makin bisa bersaing dengan produk lain terutama impor yang sudah ada. Semoga pertumbuhan ekonomi dan pariwisata di Desa Sumogawe dna sekitarnya bisa terus berkembang dna memberikan banyak manfaat serta saling menguntungkan kedepannya nanti. Mungkin bisa dibuat kelas-kelas kreatif cara pengolahan susu murni, cara pembuatan keju sehingga bisa menarik lebih banyak wisatawan.

Terima kasih untuk Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang yang sudah ngajakin jalan-jalan, bersyukur bisa merasakan keramahan serta keunikan Desa Sumogawe.

Penasaran dengan keramahan Desa Sumogawe? Silakan jalan-jalan langsung ke daerah Salatiga menuju Kopeng ya gaes...